Bila kita dihadapkan pada suatu kabar, apa pun itu, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Hal pertama yang harus kita pertimbangkan adalah kepastian kabar. Jangan sampai kita mendapat kabar bohong atau kabar yang salah dipahami. Allah subhanahu wata'ala berfirman,
يَا
أَيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُم فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ
نَادِمِينَ
"Wahai
orang-orang yang beriman, jika seorang fasiq datang kepadamu membawa
berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu
kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali
perbuatan tersebut." (QS. Alhujurat: 6)
Dari surat Alhujurat ayat enam di atas, Allah memerintahkan agar kita melakukan tabayyun atau klarifikasi perkara. Salah satu cara mengklarifikasi adalah dengan bertanya kepada orang-orang yang paham perkara. Allah ta'ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Bertanyalah pada orang yang memiliki pengetahuan, bila kalian tidak mengetahui" (QS. Annahl: 43)
Bila sudah benar kabar itu fakta, hal berikutnya yang harus dipertimbangkan adalah respon. Respon emosianal yang tenang dan sabar adalah kunci utama untuk mendapat solusi. Jika kita sudah mampu mengontrol emosional, kita tidak akan bertindak gegabah tanpa ilmu. Orang yang menginginkan kebaikan akan mudah dipahamkan ilmu, hal ini senada dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِي الدِّينِ
"Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan kepadanya, niscaya Allah menjadikannya paham terhadap urusan agamanya". (HR. Ahmad no. 16321).
Maka, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk bersabar dalam menghadapi apa pun. Menghadapi masalah dengan menginginkan kebaikan akan Allah mudahkan bagi kita pemahaman. Kemudian barulah merespon secara ilmiah; respon yang menimbang benar-salahnya atau baik-buruknya suatu perkara dengan kaidah keilmuan yang sesuai dengan perkara tersebut.
Ambil Baiknya dan Buang Buruknya
Pernyataan ini pernah terlontar dari salah seorang ustadz terkenal dalam sebuah kajian. Kajiannya bukan hanya disaksikan jama'ah masjid, melainkan juga jama'ah media sosial, karena kajiannya dibagikan pula di media sosial. Pernyataan ini terucap dengan dilatarbelakangi perpecahan umat islam dalam masalah manhaj sehingga menurut husnuzh zhon saya, beliau mengucapkan hal ini dalam rangka meminimalisasi perpecahan umat islam, terutama umat islam di Indonesia.
Beberapa ustadz dari kalangan (kelompok) tertentu menilai pernyataan ini salah mutlak. Mereka menyebutnya dengan pernyataan syubhat; yaitu pernyataan yang tidak diketahui benar-salahnya sehingga harus dijauhi. Sayangnya, beberapa murid dari kelompok ustadz ini meresponnya penuh kedengkian dengan menjauhi orang yang mengucapkan pernyataan ini, bahkan tak sedikit yang melabeli ustadz yang berkata, "ambil baiknya dan buang buruknya" ini dengan label sesat. Hal inilah yang membuat penulis ingin mengurai pernyataan ini dengan harapan tidak ada lagi muslim yang bingung mengenai pernyataan tersebut.
Penulis akan coba mengurai baik-buruknya pernyataan ini dengan penilaian pribadi penulis. Penilaian penulis bisa diterima atau ditolak, sila cermati dengan baik. Bila ditemukan kesalahan penguraian, sila kritisi penilaian penulis di kolom komentar. Bila ditemukan kebenaran dan kebaikan, semata itu datang dari Allah ta'ala. Mudah-mudahan menjadi pencerah bagi kita semua.
Pernyataan ini bisa benar dan bisa salah; tidak mutlak benar dan tidak mutlak salah.
Mengapa pernyataan ini dapat dikatakan bisa benar ? Kita tidak mungkin menilai setiap manusia itu selalu benar atau selalu salah. Setiap manusia pasti pernah melakukan kebaikan dan kejahatan. Dari sini, kita belajar adil menyikapi seseorang. Mengambil hal baik dari diri seseorang dan membuang hal buruk dari diri seseorang adalah hal yang paling tepat untuk bersikap adil terhadap setiap manusia. Namun, menjadi masalah bila baik-buruk suatu perkara itu tidak diketahui batasannya atau tolok ukurnya. Bagi seorang muslim, tolok ukur baik-buruknya suatu perkara adalah menurut Al-Qur'an dan Assunnah. Bila menurut keduanya benar dan baik, maka perkara itu bermanfaat bagi kita. Bila menurut keduanya salah dan buruk, maka perkara itu perlu dijauhi oleh kita. Bahkan setiap ulama besar islam saja tidak terlepas dari kesalahan, namun akankah kita tidak mengambil hal yang baik dari mereka, dan menunggu manusia yang sempurna kebaikannya untuk diikuti ?
Namun, pernyataan ini juga dapat dikatakan bisa salah. Mengapa demikian ? Pernyataan ini bisa salah bila baik-buruk itu diukur oleh hawa nafsu atau perasaan semata. Perasaan itu bila menilai akan bernilai relatif; tidak baku dan di luar kendali, apalagi hawa nafsu, yang biasanya beriringan dengan setan. Berapa banyak dari muslim yang menilai sholat itu baik, namun menilai jihad adalah suatu ekstrimisme, bahkan sampai membencinya ? Berapa banyak dari muslim yang menilai bakti pada orang tua itu baik, namun di sisi lain dia enggan menutup aurat secara syar'i ? Penilaian seperti ini lahir dari "ambil baiknya dan buang buruknya" yang dinilai berdasarkan perasaan atau hawa nafsu belaka. Bahkan, sampai merusak tatanan syariat.
Jadi, permasalahan perkara ini terletak bukan pada pernyataanya, melainkan dari tolok ukurnya. Bila tolok ukurnya menggunakan Al-Qur'an dan Assunnah, tentu pernyataan ini bermanfaat untuk menjaga persatuan dan harmoni kehidupan sosial. Bila tolok ukurnya menggunakan perasaan atau hawa nafsu, tentu pernyataan itu bisa menyesatkan umat karena menilai segala sesuatunya sesuai kemauan.
Orang atau kelompok yang menilai salah secara mutlak, tidak lain hanya menghendaki doktrin atau kefanatikan terhadap dirinya atau kelompoknya; agar orang lain menutup mata dari kebaikan manusia atau kelompok lain di luar kelompoknya. Padahal, mereka yang fanatik ini juga bisa salah. Sedangkan, orang atau kelompok yang menilai benar secara mutlak, bisa saja terjerumus dalam kesesatan, karena ukuran baik-buruknya tidak diukur oleh Al-Qur'an dan Assunnah. Mereka inilah liberalis dan sekuleris yang berfikir secara bebas sesuai kemauannya serta memisahkan perkara agamawi dan duniawi.
Barakallah fikum, Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar