Belajar Agama di Medsos dari Akun Anonim, Serius? - Kang Ali

Breaking

Aliyyurrahman As-Sundawiy

Jumat, 12 Oktober 2018

Belajar Agama di Medsos dari Akun Anonim, Serius?

Tuntutan dinamika kehidupan yang semakin kompleks membuat kita harus seefisien mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidup; kebutuhan lahir dan kebutuhan batin. Waktu dua puluh empat jam dalam sehari yang kita miliki harus seefektif mungkin memenuhi tuntutan kewajiban. Salah satu kebutuhan yang harus kita penuhi adalah menuntut ilmu agama; ilmu yang akan menyelematkan manusia di dunia dan akhirat. Dengan kesibukan yang banyak dimiliki manusia zaman sekarang, menimba ilmu agama di dunia maya adalah alternatif solutif, walau tetap saja belajar langsung secara bertatap muka dengan ustadz tanpa media adalah lebih utama yang harus diprioritaskan.

Media sosial adalah salah satu media yang mudah untuk dimiliki setiap orang. Manfaatnya banyak sekali, untuk kebaikan bisnis, hubungan kekeluargaan, hubungan pertemanan, ilmu pegetahuan, berita nasional, bahkan keefektifan syiar islam. Karenanya, banyak da'i dan ulama yang hidup di zaman ini memiliki media sosial untuk aktifitas dakwahya. Media sosial sudah menjadi bumi kedua bagi manusia; bumi yang mampu mendekatkan manusia barat dengan manusia timur di dunia nyata dengan kecepatan sepersekian detik.

Saya sering memerhatikan beberapa akun di media sosial yang begitu sarat dengan konten dakwah dan ilmu islam. Awalnya senang melihat banyak akun menyebar syiar islam di media sosial, namun semakin sering memerhatikan, justru saya harus berpikir ulang untuk senang. Kenapa? Dari beberapa akun yang saya perhatikan, akun-akun itu tidak menampilkan identitas jelas di profil akunnya. Apalagi, akun-akun seperti ini sering sekali memojokkan (nyinyir) dengan pendapat ulama yang berbeda dengan pendapat adminnya. Menurut saya, boleh saja meluruskan kekeliruan pendapat ulama yang berbeda, hanya saja penting memerhatikan adab dan ilmu. Alih-alih meluruskan pemahaman, malah mengundang amarah, ejekan, konflik, dll netizen di media sosial. Tidak sedikitpun meninggalkan manfaat bagi netizen.

Akun yang tidak jelas identitasnya sering diistilahkan dengan akun anonim (akun tanpa nama atau identitas sesungguhnya). Sayangnya, banyak netizen yang mengikuti akun-akun seperti ini. Bila kita mampu selektif terhadap rumah sakit untuk perawatan dan pengobatan keluarga kita, bila kita mampu selektif terhadap sekolah untuk pendidikan anak-anak kita, bila kita mampu selektif terhadap pemilihan pemimpin, lantas mengapa kita tidak bisa selektif terhadap sumber ilmu yang kita ambil untuk diamalkan?

Memang tidak semua akun anonim buruk kontennya. Di antara akun-akun anonim, ada yang terlihat ikhlas menyiarkan islam dengan damai dan penuh wawasan. Hanya saja yang perlu kita ketahui, dengan memiliki akun anonim, si admin memiliki kemungkin lebih besar untuk menipu, menebar hoax, menebar kebencian, dll karena identitasnya tidak diketahui, jadi sukar menanggung malu, takut, dan bertanggung jawab terhadap kejahatan yang telah dibuatnya.

Sikap Ulama dan Generasi Salaf dalam Memilih Sumber Ilmu

Muhammad bin Sirin, salah satu ulama besar ahlu sunnah dari kalangan tabi'in pernah berkata, "Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbing kamu untuk meraih taqwa), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu." [1]

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu  pernah menasihati murid-muridnya (para tabi'in), "Sesungguhnya kalian berada di zaman yang di dalamnya terdapat orang-orang yang berilmu, tapi sedikit yang pandai berkhuthbah dan berceramah, dan akan datang setelah (zaman) kalian nanti, zaman yang di dalamnya banyak orang pandai berceramah, tapi sedikit yang berilmu." [2]

Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha'i berkata, "Dulu para ulama salaf ketika datang pada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (lebih dulu) bagaimana shalatnya, (pengamalan) sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya." [3] 

Imam 'Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimiy berkata, "Dulu para ulama sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawiy (periwayat hadits). Salah satu ulama salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawiy hadits yang terpercaya dari generasi atba' attabi'in) berkata, 'dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya, 'apakah kalian ingin menikahkannya?''" [4]

Imam 'Abdurrahman bin Yazid bin Jabir asy-Syamiy berkata, "Tidak boleh mengambil ilmu kecuali pada orang yang dipersaksikan (pernah) menuntut ilmu (agama)." [5]

Imam Syu'bah bin al-Hajjaj al-Bashriy berkata, "Ambillah ilmu dari orang-orang yang dikenal." [6]

Imam al-Khathib al-Baghdadiy berkata, "Sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memilih guru yang dikenal pernah mempelajari hadits (sunnah) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, serta diakui ketelitian dan kedalaman ilmunya." [7]

Semua sikap yang diambil oleh generasi salaf ini radhiyallahu 'anhum ajma'in berdasar pada al-Qur'an. Allah ta'ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,

يآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang pada kalian membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatan tersebut." (QS. al-Hujurat: 6)

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Bertanyalah pada orang yang memiliki pengetahuan, bila kalian tidak mengetahuinya." (QS. an-Nahl: 43)

Tips Memilih Akun Dakwah yang Terpercaya

CEK USTADZNYA
Mengecek terlebih dahulu ustadz (pembimbing atau penasihat) yang mengasuh akun tersebut. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah
  • berakidah ahlussunnah (sunni);
  • berpedoman pada al-Qur'an dan as-Sunnah sesuai pemahaman salaf;
  • riwayat pendidikan dari program studi keislaman;
  • memiliki aktivitas dakwah di masjid, atau di sekolah, atau di ormas; dan
  • memiliki kualitas ibadah yang baik dan akhlak yang mulia.

CEK LEMBAGANYA
Terkadang, akun dakwah itu tidak dimiliki oleh individu ustadz, melainkan dimiliki secara kolektif atau memang dimiliki lembaga (ormas) dakwah tertentu. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah
  • berakidah ahlusunnah (sunni);
  • berpedoman pada al-Qur'an dan as-Sunnah sesuai pemahaman salaf;
  • beranggotakan orang-orang sholeh dan berpendidikan baik;
  • lembaga yang memiliki riwayat dakwah yang baik; dan
  • sering terlihat kontribusinya untuk ummat.

CEK SUMBER DAKWAHNYA
Akun dakwah yang baik pasti mencantumkan sumber ilmunya agar tetap terpercaya.

TIDAK MENEBAR HOAX
Ini adalah hal paling penting yang harus dipertimbangkan. Mungkin bila pernah sekali menebar hoax tanpa kesengajaan (tapi tetap dianggap kelalaian), namun meminta maaf atas hoax yang beredar, maka akun itu masih boleh dipercaya sebagai sumber ilmu. Hanya saja, bila diketahui menebar hoax berkali-kali, maka tinggalkanlah akun itu.

SELALU MENYANDARKAN PENDAPAT PADA QUR'AN DAN SUNNAH
Ilmu agama islam memang harus disandarkan pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Ini adalah hal paling mutlak ada dalam ilmu dinul islam.

AKUN YANG BERADAB DAN BERAKHLAK MULIA
Setiap apa yang dipostingnya senantiasa menginginkan kebaikan dunia dan akhirat untuk pengikutnya. Tidak memancing emosi, nyinyiran, hujatan, hinaan, dan fitnah dari netizen yang menerima ilmu darinya. Bila sekalinya mengkritikpun, tentu dengan etika atau adab yang baik. Inilah akun yang menginginkan kebaikan dari dan untuk follower-nya.

-----------------------------------------------------------------------

[1] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim, 1 / 43-44 - Syarh Shahih Muslim. 
[2] Atsar riwayat Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 789 dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, no. 3787, di-shahih-kan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/510 dan di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albaniy dalam ash-Shahihah, no. 3189.
[3] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih.
[4] Buku al-Anwar al-Kasyifah, hal. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Baghdadiy dalam al-Kifayah fi 'ilmi ar-Riwayah, hal. 92.
[5] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta'dil, 2/28.
[6] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta'dil, 2/28 dan al-Khathib al-Baghdadiy dalam al-Jami'u li Akhlaq ar-Rawiy wa Adab as-Sami', 1/90.
[7] Buku al-Jami'u li Akhlaq ar-Rawiy wa Adab as-Sami', 1/90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar