FGT 003: Hukum Kulit, Rambut, Bulu, dan Tulang Bangkai - Kang Ali

Breaking

Aliyyurrahman As-Sundawiy

Senin, 24 Oktober 2022

FGT 003: Hukum Kulit, Rambut, Bulu, dan Tulang Bangkai


جلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير  وما تولد منهما أو من أحدهما وعظم الميتة وشعرها نجس إلا الآدمي

 

Pada dasarnya setiap bangkai itu najis, termasuk kulitnya, namun ada pengecualian untuk beberapa kondisi. Kulit setiap bangkai bisa dianggap suci apabila disamak (دِبَاغ), entah itu hewan yang asalnya halal dikonsumsi maupun hewan yang asalnya haram dikonsumsi. Dalilnya hadits Rasulullah -shallallāhu 'alaihi wasallam- 

 

وعن ابن عباس رضي الله عنه قال: وجد النبي صلى الله عليه وسلم شاة ميتة أُعطِيتها مولاة لميمونة من الصدقة، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هلّا انتفعتم بجلدها. قالوا: إنها ميتة؟ قال: إنما حرم أكلها. وعند مسلم عن ابن عباس رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إذا دبغ الإهاب فقد طهر. (رواه البخاري ومسلم)


Dari Ibnu 'Abbas -radhiyallāhu 'anhu- berkata, bahwasanya Rasulullah -shallallāhu 'alaihi wasallam- mendapati bangkai domba betina diberikan pada Maimunah dari budaknya sebagai sedekah, lalu Rasulullah -shallallāhu 'alaihi wasallam- berkata, "Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya?", mereka berkata, "Itu adalah bangkai", Rasulullah -shallallāhu 'alaihi wasallam- berkata, "Sungguh yang haram itu adalah memakannya". Dalam riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas -radhiyallāhu 'anhu- berkata, "Aku mendengar Rasulullah -shallallāhu 'alaihi wasallam- bersabda, 'Apabila kulit bangkai disamak, sungguh ia telah suci'." [1]

Apabila suatu benda sudah dianggap suci, maka benda itu diperbolehkan untuk digunakan dalam kondisi kering, dihadiahkan, diperjualbelikan, dan juga bisa diwasiatkan. [2]


Bangkai hewan yang telah disamak dikategorikan menjadi dua kelompok:

  • Hewan yang hukum asalnya halal dikonsumsi, seperti sapi, kambing, unta, dan semisalnya. 
  • Hewan yang hukum asalnya haram dikonsumsi, seperti kucing, singa, macan, dan semisalnya.

 

Ulama berselisih pendapat; apakah kulit hewan yang kategori pertama halal dikonsumsi atau tidak. Imam Rafi'i -rahimahullāh- merajihkan pendapat yang menghalalkan, sedangkan Imam Nawawi -rahimahullāh- merajihkan pendapat yang mengharamkan. [3]

 

Kulit bangkai baru bisa dikatakan "telah disamak" apabila memenuhi syarat berikut:

  1. Hilangnya kotoran,
  2. diproses dengan baik dan benar, dan
  3. apabila direndam dalam air, maka kulitnya tidak rusak dan tidak berbau busuk. [4]

 

Penyamakan bisa dilakukan dengan benda-benda tajam yang bisa menyamak kulit hewan, bahkan bila benda itu dari benda yang terkena najis atau bahkan benda itu sendiri adalah zat najis, seperti kotoran burung merpati. Namun, apabila penyamakan dilakukan dengan benda najis atau yang terkena najis, maka kulitnya harus dicuci terlebih dahulu. Begitu pula sebaiknya dicuci juga meski disamak dengan benda yang suci. [5]

 

Ada beberapa kulit yang dikecualikan, yaitu kulit anjing, kulit babi, kulit hewan yang lahir dari salah satu kedua hewan tersebut, dan kulit hewan yang lahir dari perkawinan keduanya, semua hewan ini tidak bisa disucikan dengan penyamakan [6]. Alasannya adalah karena anjing dan babi adalah hewan najis ketika dalam keadaan hidup, sedangkan penyamakan itu hanya menyucikan najis yang disebabkan kematian, penyamakan tidak bisa menyucikan najis yang sudah melekat saat hidup. [7]

 

HUKUM TULANG DAN RAMBUT BANGKAI

 

Allah Ta'ala berfirman,

 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ المَيْتَةُ

"Diharamkan bagimu bangkai." [8]

 

Allah telah mengharamkan setiap bangkai, sedangkan tidak semua bangkai berasal dari hewan yang haram, maka pengharaman sesuatu yang asalnya tidak haram dan tidak merugikan ketika dikonsumsi adalah untuk menunjukkan kenajisannya. Tulang dan rambut atau bulu hewan merupakan bagian dari tubuh hewan itu sendiri. [9]

 

Untuk masalah rambut atau bulu hewan, memang terdapat perselisihan ulama di dalamnya; apakah najis karena kematian atau tidak. Imam Zakariya al-Anshari mengatakan najis. Begitu pula tulang bangkai, di dalam permasalahannya ada perbedaan pendapat; apakah najis karena kematian atau tidak. Pendapat madzhab syafi'i adalah najis karena kematian, tapi yang rajih (lebih tepat) menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hushni adalah tidak najis. [10]

 

Adapun bangkai manusia, dia tidaklah najis. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

"Sungguh telah kami muliakan anak cucu Adam." [11]

 

Ayat ini menafikkan perkataan yang menyatakan kenajisan manusia setelah kematiannya dan mengharamkan dagingnya untuk dikonsumsi karena kemuliaan yang dimilikinya. [12]


 

============================

  • [1] HR. Bukhari No. 1421 dan Muslim No. 366.
  • [2] Taqiyuddin Abu Bakr al-Hushni, Kifāyatul Akhyār fī Halli Ghāyatil Ikhtishār fīl Fiqhisy Syāfi'i (Kairo: Darul Hadits, 2016) hlm. 32
  • [3] Ibid.
  • [4] Ibid. Hlm. 33
  • [5] al-Hushni, Loc. Cit.
  • [6] Op. Cit.
  • [7] Ibid.
  • [8] (QS. Al-An'ām: 3).
  • [9] Op. Cit.
  • [10] Ibid.
  • [11] (QS. Al-Isrā: 70).
  • [12] Mushthafa Dib al-Bagha, Attadzhib (Damaskus: Darul Musthafa, 2012), hlm. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar