FGT 002: Perbedaan Air Thohur, Thohir, dan Najis - Kang Ali

Breaking

Akidah • Fikih • Tazkiah • Opini

Minggu, 11 April 2021

FGT 002: Perbedaan Air Thohur, Thohir, dan Najis


ثم المياه على أربعة أقسام: ١- طاهر مطهر غير مكروه استعماله، وهو الماء المطلق، ٢- وطاهر مطهر مكروه استعماله، وهو الماء المشمس، ٣- وطاهر غير مطهر، وهو الماء المستعمل والمتغير بما خالطه من الطاهرات، ٤- وماء نجس، وهو الذي حلت فيه نجاسة وهو دون قلتين أو كان قلتين فتغير. والقلتان: خمس مئة رطل بالبغدادي تقريبا في الأصح

Air menurut keadaannya dalam perspektif fikih terbagi menjadi tiga bagian. Namun, Imam Ahmad bin Husain al-Ashfahani atau yang lebih dikenal sebagai Imam Abu Syuja membaginya menjadi empat keadaan. Padahal, bila kita lihat matan di atas, maka bagian pertama dan kedua itu itu sebenarnya satu kesatuan yang jenisnya sama, hanya saja memiliki hukum yang berbeda. Penulis akan meringkasnya menjadi tiga keadaan saja tanpa menyelisihi isi matan yang disusun oleh Imam Abu Syuja. Air terbagi menjadi tiga keadaan dalam pandangan fikih: Air Thohur, Air Thohir, dan Air Najis.

PEMBAGIAN KEADAAN AIR MENURUT FIKIH

AIR THOHUR
Air thohur adalah air yang suci secara zatnya dan mampu menyucikan. Air ini dapat digunakan dalam hal apapun sesuai kebutuhannya, termasuk untuk bersuci, seperti; wudhu, mandi junub, dan membersihkan najis yang melekat pada diri manusia atau barang-barang yang suci. Contoh air thohur adalah air langit (hujan), air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, dan air embun. Ketujuh air thohur ini telah dijelaskan beserta seluruh dalilnya dalam artikel yang berjudul Tujuh Macam Air yang Menyucikan. Air thohur menurut hukum penggunaanya terbagi menjadi dua:

  1. Air Muthlaq
    Dalam Kitab Kifayatul Akhyar karya Imam Taqiyuddin Muhammad al-Hushni rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa air muthlaq adalah air yang mampu mengangkat hadats dan menghilangkan najis. Air ini terlepas dari campuran atau tambahan apapun yang mampu mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak bisa disebut "air" lagi. Pendapat ini adalah pendapat yang benar dalam Kitab ar-Raudhah dan al-Muharrar. Imam Syafi'i telah menulis tentang pendapat ini [1]. Air muthlaq bisa juga dikatakan air jernih yang murni hasil dari proses alam yang belum tercampur dengan apapun, sehingga tidak berubah warna, bau, dan rasanya. Hukum pemakaiannya untuk bersuci adalah mubah (boleh) menurut kesepakatan para ulama.

  2. Air Musyammas
    Air musyammas adalah air muthlaq yang terpanaskan karena terpapar sinar matahari. Ulama berselisih dalam hukum pemakainnya untuk tubuh, adapun untuk barang-barang, maka pemakainnya dibolehkan. Ulama besar madzhab syafi'i, Imam Rafi'i berpendapat bahwa air musyammas hukunya makruh untuk digunakan. Beliau berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma,

    وَعَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ بِمَاءٍ مُشَمَّسٍ فَأَصَابَهُ وَضْحٌ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ. وَكَرِهَ عُمَرُ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ وَقَالَ: إِنَّهُ يُورِثُ البَرَصَ

    Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi asallam bersabda, "Barang siapa yang mandi dengan air musyammas, lalu dia terjangkit penyakit kusta, maka tidaklah dia bisa menyalahkan, kecuali terhadap dirinya sendiri" [2]. 'Umar radhiyallah 'anhu menbencinya (air musyammas), dan dia berkata, "Sesungguhnya ia (air musyammas) meninggalkan penyakit kusta" [3].

    Air thohur baru bisa dikatakan air musyammas apabila memenuhi syarat berikut: 1) Air terpanaskan oleh sinar matahari dalam wadah yang terbuat dari bahan mineral, seperti; logam, alumunium, besi, emas, dan perak. Bila air terpanaskan dalam wadah kayu atau kaca, dan bahan lainnya, maka tidak bisa dikatakan air musyammas. 2) Air terpanaskan di negeri yang bersuhu tinggi (panas). Bahkan, air yang terlalu dingin pun makruh digunakan untuk menyucikan tubuh [4].

    Dalil yang digunakan oleh Imam Rafi'i sebagai penguat kemakruhannya hadits-nya dho'if (lemah) menurut para ulama hadits, sehingga inilah yang menyebabkan perselisihan di antara para ulama fikih, bahkan Imam Nawawi berpendapat bahwa air musyammas tidaklah makruh digunakan untuk bersuci [5].

AIR THOHIR
Air thohir adalah air yang suci secara zatnya, tapi tidak bisa menyucikan. Air thohur menjadi thohir karena tercampur air bekas bersuci atau tercampur dengan hal-hal yang sifatnya suci (thohir). Dalilnya adalah air ini tidak terkategorikan dalam ayat ataupun hadits yang menjelaskan air thohur dan juga tidak terkategorikan sebagai air najis, karena air baru bisa dikatakan najis apabila dimasuki hal-hal najis, sedangkan air thohir adalah air yang tercampur dengan hal-hal suci. Maka, para ulama merumuskan kategori baru dalam pembagian keadaan air ini. Air ini terbagi menjadi dua bagian: Air Musta'mal dan Air Mukholath.

  1. Air Musta'mal
    Air thohir baru dikatakan air musta'mal apabila telah memenuhi syarat berikut: 1) Air muthlaq yang telah terpakai untuk bersuci yang sifatnya wajib, misal: air basuhan wudhu pertama untuk wajah; air basuhan pertama untuk tangan dari ujung jari sampai siku; air basuhan pertama untuk kepala; dan air basuhan pertama untuk kaki sampai mata kaki, karena air basuhan pertama untuk keempat anggota tubuh ini dalam wudhu hukumnya wajib, maka air bekas basuhan itu dikategorikan sebagai air musta'mal. Lalu, air bekas mandi wajib. 2) Airnya sedikit yang berukuran kurang dari dua qullah (+/- 235 liter air) dan jumlahnya tidak bertambah dari keadaan air sebelum terpakai. 3) Airnya tidak berubah salah satu sifatnya atau lebih (warna, bau, dan rasa) [6].

  2. Air Mukholath
    Air thohir baru bisa dikatakan air mukholath apabila telah memenuhi syarat berikut: 1) Tercampur dengan hal-hal suci. 2) Berubah salah satu sifatnya atau lebih karena hal-hal suci. 3) Bila hal-hal suci itu jumlah atau ukurannya kecil dan tidak mengubah salah satu sifatnya atau lebih, maka air itu tidak dikatakan air thohir mukholath. Apabila air thohur itu berubah salah satu sifatnya karena ada hal-hal thohir yang ada di dekatnya -tidak tercampur-, maka air itu tidak dihukumi air mukholath, melainkan air thohur [7].

AIR NAJIS
Air najis adalah air yang dimasuki hal-hal yang najis, seperti; kotoran makhluk hidup, urin makhluk hidup, darah yang mengalir banyak, muntahan, madzi, wadi, bangkai makhluk hidup, hewan anjing, hewan babi, dan khomr (minuman keras beralkohol). Air ini sifatnya tidak suci dan tak bisa menyucikan. Air najis terbagi menjadi dua bagian: Air Qolil Najis dan Air Katsir Najis.

  1. Air Qolil
    Air qolil baru bisa dikatakan air najis apabila memenuhi syarat berikut: 1) Berukuran kurang dari dua qullah. 2) Pada dasarnya, sifatnya berubah atau tidak, tetaplah dihukumi air najis. 3) Airnya dimasuki hal-hal najis, kecuali bangkai manusia, belalang, ikan, dan bangkai hewan-hewan yang tidak mengalir darahnya, seperti; cicak, lalat, semut, dan lain-lainnya apabila semua bangkai ini tidak mengubah salah satu sifat air atau lebih.

  2. Air Katsir
    Air katsir baru bisa dikatakan najis apabila memenuhi syarat berikut: 1) Airnya dimasuki hal-hal najis, kecuali bangkai manusia, belalang, ikan, dan bangkai hewan-hewan yang tidak mengalir darahnya, seperti; cicak, lalat, semut, dan lain-lainnya. 2) Airnya berukuran dua qullah atau lebih. 3) Berubah salah satu sifat airnya atau lebih.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا بَلَغَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا. وَفِي رِوَايَةٍ: نَجسًا

"Apabila air mencapai dua qullah, maka belum bisa dikatakan khobats". Dalam riwayat lain "najis". [8]

Dari hadits ini dapat dipahami, bila air belum mencapai dua qullah, maka air itu tidak bisa dikatakan najis. Berarti secara mafhum mukholafah (dipahami secara terbalik) air yang kurang dari dua qullah yang terkena najis, dihukumi sebagai air najis. Namun, air dua qullah ini dapat menjadi air najis apabila berubah salah satu sifatnya atau lebih. Hal ini didasarkan pada dalil hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

خَلَقَ اللّهُ المَاءَ طَهُورًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَيَّر طَعْمَهُ أَوْ رِيحَهُ. وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَه: أَوْ لَوْنَهُ

"Allah menciptakan air dalam keadaan thohur (suci dan menyucikan), tidak ada sesuatu yang mampu menajiskannya, kecuali sesuatu itu mengubah rasanya atau baunya". Dalam riwayat Ibnu Majah: "atau warnanya". [9]

Dari kedua hadits ini, para ulama madzhab syafi'i menyimpulkan bahwa air qolil akan menjadi air najis, baik berubah atau tidak berubah sifatnya. Sedangkan air katsir hanya akan dikatakan najis apabila salah satu sifatnya berubah. Adapun bila air katsir dimasuki hal-hal najis, tapi tidak berubah sifatnya, maka air itu tetaplah pada hukum asalnya (bisa jadi thohur atau thohir).

Dalam madzhab syafi'i, stiap bangkai makhluk hidup adalah najis, kecuali bangkai manusia, ikan, belalang dan hewan-hewan yang tidak mengalir darahnya; seperti lalat, cicak, semut, dan hewan kecil lainnya. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut.

قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: سُبْحَانَ اللّهُ إِنَّ المُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Mahasuci Allah, sungguh seorang muslim tidaklah najis". [10]

Dalil ini menjelaskan bahwa muslim tidaklah najis. Adapun tubuh orang kafir terdapat perselisihan antar ulama tentang kesuciannya. Pendapat madzhab syafi'i menyatakan kesuciannya, berdasarkan dibolehkannya menikahi wanita Ahlu Kitab, padahal jelas akan bersentuhan dan tida dapat dielakkan, khususnya ketika berhubungan intim. Adapun firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis" [11].

Najis dalam penggalan ayat di atas adalah najis majaziy; yaitu najis karena keyakinan mereka. Simpulan dari setiap dalil di atas, maka para ulama syafi'iyyah menyimpulkan bahwa bangkai manusia tidaklah najis, melainkan thohir. Selagi bangkai manusia itu tidak mengubah salah satu sifat air atau lebih, maka air itu tidaklah najis.

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا المَيْتَتَانِ فَالحُوتُ وَالجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa". [12]

Dari hadits di atas, kita dapati bahwa ikan dan belalang halal dikonsumsi. Kaidah fikih mengatakan bahwa setiap yang halal sudah pasti thohir dan tidak najis. Maka, setiap bangkai itu najis, kecuali manusia, ikan, dan belalang. Adapun bangkai hewan-hewan yang tidak mengalir darahnya, dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

إِذَا َوَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَالأُخْرَى شِفَاءٌ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila seekor lalat hinggap di minuman salah seorang kalian, maka hendaknya ia menenggelamkannya kemudian membuang lalatnya, karena pada salah satu dari kedua sayapnya terdapat penyakit dan pada (sayap) lainnya (terdapat) obatnya (penawar)". [13]

Menurut Syaikh Dr. Labib Najib al-Yamani, salah seorang ulama madzhab syafi'i kontemporer, lalat yang dimasukkan ke dalam air tentulah akan mati, maka lalat itu statusnya menjadi bangkai, dan bangkai itu masuk dalam minuman. Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa apabila lalat itu dimasukkan kembali ke air, maka airnya akan ternetralisasi kembali seperti keadaaanya sedia kala (thahur atau thohir). Hal ini juga dapat diqiyaskan (dianalogikan) pada bangkai hewan-hewan kecil lainnya yang memiliki kesamaan illat dengan lalat; yaitu sama-sama memiliki darah yang tidak mengalir. [14]


----------------------------------------
  • [1] Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad al-Hushni ad-Dimasyqi, Kifayatul Akhyari Syarhu Matni al-Ghayatu wat Taqribi (Kairo: Darul Hadits, 2016)hlm. 24
  • [2] Hadits Dho'if. HR. Qodhi al-Maristan dalam Ahadits asy-Syuyukh ats-Tsiqat atau al-Masyaikhah al-Kubro No. 3/1386 dari hadits Ibnu 'Abbas.
  • [3] Hadits Dho'if. HR. ad-Daruquthniy dalam Kitab Sunan-nya No. 1/39 dan HR. Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro No. 1/6.
  • [4] ad-Dimasyqi, Op. Cit. Hlm. 25
  • [5] Ibid.
  • [6] https://youtu.be/jlQ5q4fXc2A (diakses 3 Maret 2023)
  • [7] Ibid.
  • [8] Hadits Shohih. HR. Ahmad dalam Musnad-nya No. 2/12; Abu Daud dalam Sunan-nya No. 63
  • [9] Hadits Dho'if. HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya No. 521; ath-Thobroni dalam al-Jami al-Kabir No. 8/104.
  • [10] HR. Abu Daud No. 200
  • [11] QS. at-Taubah [9]: 28.
  • [12] HR Ibnu Majah No. 3314 dan di-shohi-hkan Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah No.1118.
  • [13] HR. Bukhori No. 3320
  • [14] https://youtu.be/jlQ5q4fXc2A Loc. Cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar