Ringkasan Istilah-Istilah Khusus dalam Madzhab Syafi'i - Kang Ali

Breaking

Akidah • Fikih • Tazkiah • Opini

Sabtu, 11 Maret 2023

Ringkasan Istilah-Istilah Khusus dalam Madzhab Syafi'i


Merupakan sebuah kewajiban bagi setiap orang yang ingin mendalami fiqh madzhab syafi'i untuk mengetahui setiap istilah-istilah khusus dalam kitab-kitab fiqh syafi'i. Bahkan, bisa dikatakan sulit sekali memahami kitab-kitab fiqh syafi'i tanpa mendalami istilah-istilah yang ada. Penggunaan istilah-istilah ini dimaksudkan untuk meringkas setiap penjelasan pendapat yang dikemukakan ulama syafi'iyyah sehingga tulisan dalam kitab efisien.

Namun, tulisan ini ditujukan pada mereka yang sudah mampu berbahasa arab secara aktif ataupun pasif. Sengaja saya buat penjelasannya dengan bahasa indonesia agar mepermudah pemahaman bagi pelajar atau santri Indonesia yang sedang belajar ilmu fiqh. Inilah istilah-istilah khusus dan penting dalam madzhab syafi'i.

1. Qaul (القول) atau Aqwāl (الأقوال)
Maksudnya adalah ijtihad Imam Syafi'i, baik itu dalam madzhab qadim ataupun madzhab jadid.

2. Qaul Qadīm (القول القديم)
Maksudnya ialah setiap perkataan Imam Syafi'i sebelum ke Mesir, baik berupa tulisan ataupun fatwa. Disebut juga madzhab qadim. Periwayat yang paling populer adalah az-Za'farani, al-Karabisi, dan Abu Tsaur rahimahumullah.

3. Qaul Jadīd (القول الجديد)
Maksudnya adalah setiap perkataan Imam Syafi'i setelah di Mesir, baik berupa tulisan ataupun fatwa. Disebut juga madzhab jadid. Periwayat yang paling populer adalah al-Buwaythi, al-Muzani, dan ar-Rabi al-Muradi rahimahumullah.

Perlu diketahui, bahwa tidak setiap qaul jadid menyelisihi qaul qadim dan tidak setiap qaul qadim itu ditinggalkan, bahkan ada qaul jadid bisa berdampingan melengkapi qaul qadim.

4. Azhhar (الأظهر)
Maksudnya adalah pendapat yang rajih berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan Imam Syafi'i yang perselisihannya dinilai kuat.

5. Zhāhir (الظاهر)
Maksudnya adalah pendapat yang marjuh berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan Imam Syafi'i yang perselisihannya dinilai kuat. Bisa dikatakan lawannya azhhar.

Perlu diketahui, bahwa Imam Ghazali menggunakan kedua istilah azhhar dan zhahir ini untuk melakukan tarjih perkataan-perkataan Imam Syafi'i dan perkataan-perkataan ulama syafi'iyyah.

6. Masyhūr (المشهور)

Maksudnya adalah pendapat yang rajih berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan Imam Syafi'i yang perselisihannya dinilai lemah.

7. Gharīb (الغريب)
Maksudnya adalah pendapat yang marjuh berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan Imam Syafi'i yang perselisihannya dinilai lemah. Bisa dikatakan lawannya masyhur.

8. Asyhar (الأشهر)
Istilah yang digunakan oleh Imam Ghazali dalam banyak tulisannya sebagai pelengkap istilah masyhur dan gharib. Asyhar ialah pendapat yang rajih berdasarkan kekuatan dalil serta kepopuleran pengutip (الناقل) perkataan Imam Syafi'i dari dua atau lebih perkataan Imam Syafi'i atau perkataan ashhab syafi'iyyah. Kedudukannya lebih tinggi dari masyhur.

9. Ashhāb (الأصحاب)

Maksudnya adalah para fuqaha yang bermadzhab syafi'i atau ulama syafi'iyyah. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai level tinggi dalam ilmu, bahkan mereka memiliki ijtihad khusus tersendiri yang diteliti melalui prinsip dasar (ushūl) Imam Syafi'i, serta dibuat berasaskan aplikasi kaidahnya.

Adapun Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tulisan-tulisannya terkadang menetapkan kata "ashhab" sebagai ulama syafi'iyyah dan terkadang sebagai ulama asy'ariyyah.

10. Wujūh (الوجوه) atau Aujuh (الأوجه)
Maksudnya adalah setiap pendapat ashhab syafi'iyyah yang dibuat berdasarkan prinsip dasar umum dalam madzhab serta kaidah yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi'i, sehingga tidak keluar dari zona madzhab.

Mengenai derajat kesahan nisbat "wajh" (الوجه) ini pada Imam Syafi'i, maka Imam Nawawi berkata, "Yang paling benar adalah tidak dinisbatkan pada Imam Syafi'i". Apabila dalam satu permasalahan ada dua pandangan, maka bisa jadi dua pandangan itu milik dua ulama syafi'iyyah; bisa juga milik satu ulama syafi'iyyah. Apabila ijtihad khusus ini tidak berdiri di atas kaidah dasar yang dibangun Imam Syafi'i, maka tidak diakui sebagai wajh dalam madzhab syafi'i.

11. Thuruq (الطرق)

Maksudnya adalah perbedaan-perbedaan pendapat ashhab dalam periwayatan madzhab.

12. Madzhab (المذهب)

Maksudnya adalah pendapat rajih saat terdapat perselisihan ashhab dalam periwayatan melalui dua atau lebih jalur.

13. Ashah (الأصح)
Maksudnya adalah pendapat rajih berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih pandangan ashhab syafi'iyyah yang perselisihannya dinilai kuat.

14. Shahīh (الصحيح)

Maksudnya adalah pendapat yang marjuh berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan ashhab syafi'iyyah yang perselisihannya dinilai kuat. Bisa dikatakan lawannya ashah.

Perlu diketahui, bahwa Imam Ghazali dan ulama syafi'iyyah sebelum beliau menggunakan kedua istilah ashah dan shahih dalam banyak tulisan mereka untuk melakukan tarjih antara perkataan Imam Syafi'i, juga tarjih antara perkataan ashhab syafi'iyyah. Jadi, istilah ashah menjadi sinonim istilah azhhar dan istilah shahih menjadi sinonim istilah zhahir.

15. Shahīh (الصحيح)

Maksudnya adalah pendapat yang rajih berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan ashhab syafi'iyyah yang perselisihannya dinilai lemah.

16. Dha'īf (الضعيف)

Maksudnya adalah pendapat yang marjuh berdasarkan kekuatan dalil dari dua atau lebih perkataan ashhab syafi'iyyah yang perselisihannya dinilai lemah. Bisa dikatakan lawannya shahih.

17. Nash (النص)

Maksudnya adalah ucapan tertulis atau teks manshush (المنصوص) dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Syafi'i.

18. Takhrīj (التخريج)
al-Khathib asy-Syirbini menjelaskan bahwa takhrij adalah jawaban Imam Syafi'i dengan dua hukum yang berbeda dalam dua kasus yang mirip dan belum jelas apa yang membedakan keduanya. Para ashhab akan menentukan jawabannya, maka akan terdapat dua predikat: satu jawaban dikatakan manshush (المنصوص) dan jawaban lainnya dikatakan mukharraj (المخرج). Bisa dikatakan takhrij ini lawannya nash.

19. Asybah (الأشبه)

Hukum yang kuat karena kemiripan 'illat apabila dalam satu perkara ada dua hukum yang dibangun atas dua qiyas, tapi 'illat dalam satu hukum lebih kuat dari 'illat hukum lainnya.

Ungkapan-ungkapan yang melemahkan suatu ijtihad atau dalilnya:

‌1. قولهم: زعم فلان...
Maksudnya Fulan berkata, hanya saja ungkapan ini lebih banyak dipakai untuk menunjukkan keraguan dalam perkataannya.

‌2. قولهم: إن قيل / قيل كذا / قيل فيه
Menandakan lemahnya pendapat yang dikutip atau lemahnya dalil yang dikutip.

‌3. قولهم: وهو محتمل...
Kalau maksudnya muhtamil (مُحْتَمِلٌ), maka pendapatnya itu hasil tarjih. Bila maksudnya muhtamal (مُحْتَمَلٌ), maka pendapat ini bukan hasil tarjih karena artinya "kemungkinan".

‌4. قولهم: وقع لفلان كذا...
Apabila setelah tulisan ini dimaksudkan tarjih, maka perkataannya adalah rajih (kuat). Apabila dimaksudkan tadh'if, maka perkataannya adalah dha'if (lemah). Apabila tidak dinyatakan tarjih ataupun tadh'if, maka ungkapan ini menyatakan pendapatnya lemah.

‌5. قولهم: إن صح هذا فكذا
Ungkapan yang menjelaskan bahwa penulis tidak ridha atau sepakat dengan pendapat yang ditulis.

Ungkapan-ungkapan yang memperjelas suatu permasalahan, atau mengingatkan suatu perkara secara mendalam, atau tarjih beberapa pendapat:

‌1. قولهم: محصِّل الكلام...
Ini adalah ungkapan yang menginginkan pengumuman (ijmāl) setelah merinci (tafshīl) permasalahan yang dibahas.

‌2. قولهم: حاصل الكلام...
Ini adalah ungkapan yang menginginkan perincian (tafshīl) setelah mengumumkan (ijmāl) permasalahan yang dibahas.

‌3. قولهم: تحريره / تنقيحه
Ini adalah ungkapan yang sering dipakai oleh ashhab syafi'iyyah dalam syarah dan hasyiyah mereka untuk menunjukkan bahwa ada kelemahan dalam asasnya, atau mengandung perkataan yang tidak diperlukan, dan kadang-kadang ungkapan ini dipakai untuk menambah penjelasan.

‌4. قولهم في ختام الكلام: تأمَّل
Ungkapan ini menunjukkan pada kedalaman pendapat (jawaban kuat) atau tercorengnya pendapat (jawaban lemah), dan kontekslah yang menunjukkan makna mana yang dimaksudkan oleh penulis.

‌5. قولهم: اعلم
Ungkapan yang menunjukkan kuatnya perhatian pada pendapat dan dalil yang diperinci.

‌6. قولهم: لو قيل كذا لم يبعُد / وليس ببعيد / لكان قريبا / هو أقرب / وعليه عمل
Semua ungkapan ini menunjukkan tarjih.

‌7. قولهم: اتفقوا / وهذا مجزوم به / وهذا لا خلاف فيه
Ungkapan ini menunjukkan kesepakatan para fuqaha madzhab syafi'i tanpa fuqaha di luar madzhab syafi'i.

‌8. قولهم: هذا مجموع عليه
Ungkapan ini menunjukkan kesepakatan seluruh ulama dari seluruh madzhab.

‌9. قولهم: ينبغي...
Ungkapan ini kadang dipakai untuk menunjukkan kewajiban, kadang anjuran, dan kontekslah yang menunjukkan makna mana yang dimaksudkan oleh penulis.

Gelar atau julukan yang disematkan untuk ulama syafi'iyyah sebagai bentuk ringkasan dalam setiap kitab-kitab fiqh syafi'i:

  • Gelar (الإمام) dimaksudkan pada Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 h).
  • Gelar (القاضي) dimaksudkan pada al-Qadhi Husain (w. 462 h).
  • Gelar (القاضيان) dimaksudkan pada ar-Ruyani (w. 506 h) dan al-Mawardi (w. 450 h).
  • Nama (الربيع) saja dimaksudkan pada ar-Rabi' bin Sulaiman al-Muradi (w. 670 h). Sedangkan ar-Rabi' bin Sulaiman al-Jizi, namanya ditulis lengkap.
  • Kata (الشارح) atau (الشارح المحقق) dimaksudkan pada Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 h) atau salah satu syarih kitab al-Minhaj milik Imam Nawawi. Adapun (شارح) tanpa (ال): maksudnya syarih kitab apapun.
  • Gelar (الشيخان) dimaksudkan pada Imam Nawawi (w. 676 h) dan Imam Rafi'i (w. 623 h).
  • Gelar (الشيوخ) dimaksudkan pada Imam Nawawi, Imam Rafi'i, dan Imam as-Subki (w. 623 h).
  • Gelar (شيخنا) dalam setiap tulisan al-Khathib asy-Syirbini (w. 977 h) dan Syamsuddin ar-Ramli (w. 1004 h) dimaksudkan pada Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (w. 926 h).‌
  • Gelar (شيخي) dalam tulisan al-Khathib asy-Syirbini saja dimaksudkan pada Syihabuddin ar-Ramli (w. 957 h).
  • Kalimat (أفتى به الوالد) bagi Syamsuddin ar-Ramli dimaksudkan pada Syihabuddin ar-Ramli.
  • Kuniyah (أبوالعباس) yang disebut asy-Syirazi (w. 476 h) dalam kitabnya, al-Muhadzdzab dimaksudkan pada Ibnu Suraij (w. 306 h). Kalau (أبوسعيد) dimaksudkan pada al-Isthakhri (w. 368 h). Kalau (أبوإسحاق) dimaksudkan pada al-Maruzi (w. 340 h).
  • Kata (القفال) dalam kitab al-Majmu' karya Imam Nawawi dimaksudkan pada al-Maruzi (w. 417 h). Apabila yang dimaksud al-Qaffal asy-Syasyi (w. 365 h), maka ditulis lengkap.

  • Gelar (المحمدون الأربعة) disematkan pada: 1- Muhammad bin Nashr al-Maruzi (w. 694 h), 2- Muhammad bin Ibrahim al-Mundzir (w. 310 h), 3- Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 h), dan 4- Muhammad bin Ishhaq al-Khuzaimah (w. 311 h).


=================

Sumber: al-Qawasimi, Dr. Akram Yusuf. 2016. al-Madkhal ilā Madzhab al-Imām asy-Syāfi'i. Yordania: Dar an-Nafais.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar