Matinya Nalar Objektivitas dan Hidupnya Vonis Identitas - Kang Ali

Breaking

Aliyyurrahman As-Sundawiy

Rabu, 03 April 2024

Matinya Nalar Objektivitas dan Hidupnya Vonis Identitas

Akhir-akhir ini saya diperlihatkan dari explore instagram saya fenomena Konser Shalawat yang dihiasi ikhtilat (berbaur dengan yang bukan mahram), berjoget-joget, dan lirik pujiannya kepada Nabi ﷺ terkesan dipermainkan agar terasa seru, bukan khusyuk dan khidmat. Iseng-iseng saya mengunjungi kolom komentar, melihat dan mengamati setiap tanggapan yang ada dari netizen. Bahkan, saya ikut juga berkomentar. Maklum, akhir-akhir ini waktu lagi luang, sesekali berbagi pengetahuan dan opini buat netizen.

Masyhur tradisi majelis shalawat seperti ini dikenal sebagai tradisi kalangan Aswaja di Indonesia, entahlah bila di negara lain. Banyak netizen yang menanggapi, "gak semua Aswaja kayak gitu", dari kalimat ini saya sepakat. Kemudian, netizen melanjutkan, "tapi yang kayak gitu udah pasti Aswaja", meski rasanya ingin menyangkal, tapi memang sejauh ini yang saya tahu, majelis-majelis seperti itu identik dari kalangan Aswaja.

Tidak sedikit masyarakat umum yang kecewa dan menyayangkan adanya fenomena seperti ini. Berbagai kalangan mencoba mengkritik dan menasihati, termasuk dari kalangan Aswaja itu sendiri dan kalangan antitesisnya, yaitu Salafi-Wahhabi. Saya tidak menafikkan adanya aji mumpung dari kalangan Salafi untuk menyudutkan Aswaja, tapi saya yakin juga, tidak sedikit dari kalangan Salafi yang murni mengkritik demi kebaikan kaum muslimin.

Sayang sekali, sebagian kalangan Aswaja kadung membenci Salafi, nalar objektivitasnya mati, sehingga kesalahan dari kelompoknya sendiri ditanggapi denial, malah membenci Salafi atas kritiknya, seakan setiap bentuk kontra dan kritik tidak pernah ada kecuali pasti dari Salafi, bahkan pengkritik dari kalangan Aswaja sendiri saja dianggapnya Salafi-Wahhabi. Lucu, tapi saya tak merasa heran.

Perselisihan dua kutub besar umat Islam ini (Salafi-Aswaja) memang sudah ratusan tahun dan menyebar di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali dunia maya. Saya kira debat-debat seputar manhaj, fikrah, akidah, dan fikih itu hanya terjadi di Indonesia saja, tapi setelah saya bermain jauh di akun-akun dakwah Arab ataupun muslim Eropa, ternyata sama saja; konflik Salafi-Aswaja ada di mana-mana.

Kolom komentar berisi banyak tanggapan, dari yang pro hingga yang kontra; dari yang kalem hingga yang emosi; dan dari yang ilmiah hingga yang hinaan. Apapun tanggapannya, 'mudah memvonis lawan pendapat dengan identitas tertentu' ini adalah hal yang saya soroti. Bila ada yang mengkritik kelompoknya, tiba-tiba si pengkritik disebut "Dasar Wahhabi!". Padahal bila ingin membantah, fokus saja pada kritiknya, toh belum tentu juga si pengkritik berasal dari kalangan yang dituduhnya. Apalagi, bila ternyata si pengkritik ini dari kalangannya sendiri, tentu ini hal yang memalukan.

Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi pada fenomena konser shalawat, ada juga di beberapa kejadian lainnya, seperti video pendek yang menampilkan Syaikh Muhammad Hasan Hitou tidak ingin muridnya mencium tangannya sambil membungkuk, bahkan Syaikh memberinya sedikit peringatan bahwa menunduk itu hanya untuk Allah ﷻ. Tentu hal seperti ini bagi yang tidak tahu siapa beliau akan mudah memvonis beliau sebagai Wahhabi karena umumnya paham 'anti membungkuk pada orang tua atau guru' itu identik dengan paham Salafi, padahal beliau adalah seorang Asy'ari tulen, salah satu mazhab akidah Aswaja, antitesisnya Salafi. Ternyata memang ada saja yang mencap beliau sebagai Wahhabi.

Adalagi yang baru-baru ini hangat tentang kritik pakar Qira'ah Qur'an dunia, Syaikh Aiman Suwaid terhadap bacaan salah satu Qari asal Indonesia di salah satu acara TV. Bacaan Qari asal Indonesia ini terlalu mendayu-dayu menurut beliau, sehingga terkesan seperti sedang bernyanyi. Kemudian, akun instagram Ust. Abdul Somad (UAS) mengunggah bantahan dari salah satu da'i asal Mesir atas kritik Syaikh Aiman. Mungkin karena bantahan ini datangnya dari akun UAS yang biasanya membantah paham Salafi, sehingga ada saja beberapa orang yang memvonis Syaikh Aiman sebagai Salafi-Wahhabi, padahal beliau ini seorang Asy'ari juga.

Mudah sekali mengidentifikasi lawan pendapat dengan identitas tertentu ini bukan hanya terjadi di kalangan Aswaja terhadap Salafi saja, tapi terkadang sebaliknya; bila ada kritik terhadap paham Salafi, sebagian Salafi menyinggungnya dengan vonis "Aswaja ahli bid'ah!", seakan si pengkritik sudah pasti dari kalangan Aswaja yang dinilainya sebagai pelopor bid'ah, padahal belum tentu bagian dari Aswaja.

Hikmah yang bisa kita ambil dari deretan peristiwa di atas adalah 1) ternyata tidak setiap kebenaran datang dari kelompokmu, bisa saja datang dari kelompok lawan. Kemudian, 2) tidak setiap ulama kelompokmu mengikuti pakem pemahaman kelompokmu, misal seperti peristiwa Syaikh Muhammad Hasan Hitou yang tidak mau orang lain menyalaminya sambil menunduk atau membungkuk. Terakhir, 3) tidak setiap orang yang membantahmu atau mengkritikmu adalah lawanmu.

Tulisan ini saya maksudkan bukan untuk membela kelompok tertentu dan memojokkan kelompok lainnya, melainkan murni agar kita tidak bermudah-mudah fokus pada identitas seseorang yang mengkritik ilmiah. Bila tidak sependapat, objektiflah, fokuslah pada isi kritiknya. Bawakan bantahan ilmiah lainnya. Tentu tradisi pro-kontra secara ilmiah seperti ini bagus untuk menambah wawasan kita dan tradisi keilmuan agama.

Bila menurut pemahamanmu ada keliru dari sebagian orang yang satu kelompok denganmu, maka akuilah, meski yang membuktikannya adalah kalangan lawanmu, bahkan untuk menunjukkan integritas keilmuanmu, harusnya kamulah orang yang paling depan mengkritiknya karena kesalahan itu ada pada kelompokmu.

Mengenai vonis identitas, saya tidak sepenuhnya menyalahkan cara-cara pengindetifikasian identitas pihak lawan. Di beberapa kasus, identifikasi identitas lawan diperlukan agar kita tahu ke mana arah tujuan yang dia inginkan. Namun, bila lawan membawakan kritik ilmiah, hendaknya kita fokus membantah kritiknya secara ilmiah, bukan memvonisnya, apalagi vonis serampangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar