Salahkah Belajar Islam dari Syaikh Google atau Ustaz YouTube? - Kang Ali

Breaking

Akidah • Fikih • Tazkiah • Opini

Rabu, 08 Mei 2024

Salahkah Belajar Islam dari Syaikh Google atau Ustaz YouTube?


Di zaman serba canggih seperti sekarang ini, masih banyak berseliweran prinsip "Belajar agama jangan dari google (internet -red)", bahkan sampai menganggap aib bila seseorang belajar ilmu agama dari internet. Cap "murid Syaikh Google", "santri Ustaz YouTube", atau sejenisnya, sering kali dilontarkan sebagai cemoohan untuk mereka yang kerap kali berbicara mengenai agama tapi belum bisa menuntut ilmu agama di pesantren atau perguruan tinggi islam.


Cemoohan di atas biasanya muncul ketika ada perdebatan ilmu agama di media sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Penghinaan seperti ini dinisbatkan pada mereka yang mengutip dalil dari website, blog, atau akun medsos tertentu untuk menguatkan pendapatnya. Hanya saja, dari beberapa pengutipan tersebut terkadang tidak diiringi pemahaman yang baik, sehingga terjadi banyak kekeliruan yang fatal. Mengenai mengambil ilmu dari internet, sebelumnya kami pernah membahas Tips Memilih Akun Dakwah yang Terpercaya dalam blog kami yang berjudul Belajar Agama di Medsos dari Akun Anonim, Serius?. Namun, apakah karena kesalahan-kesalahan ini membuat belajar agama dari internet menjadi bermasalah? Mari kita ulas.


Minimalnya ada tiga faktor dasar yang memengaruhi kualitas keilmuan seseorang:

  1. Keberadaan asatidz (guru) yang mendalami ilmu yang dibahasnya.
  2. Manhaj belajar (kurikulum) yang terstruktur dengan baik.
  3. Kesungguhan santrinya saat menuntut ilmu.


Adapun tempat atau fasilitas, walau bisa memengaruhi kualitas keilmuan seseorang, tapi dia hanya sebagai pendukung, bukan hal dasar, karena betapa banyak ulama yang serba kekurangan dalam menuntut ilmu, tapi mampu mencapai derajat tertinggi dalam pencapaian ilmu. Terlebih menuntut ilmu agama tidak memerlukan banyak peralatan atau fasilitas untuk menunjangnya.


Tiga faktor di atas masih bisa didapatkan dalam pembelajaran daring (online). Selagi jelas institusi apa yang menyelenggarakan pembelajaran daring, siapa asatidz yang mengampu, bagaimana kurikulum yang ditempuh, kitab apa saja yang dipelajari, dan sekuat apa niat dan tekad belajar muridnya, insyaallah pembelajaran daring tidak ada bedanya dengan pembelajaran luring (offline) yang langsung bermajelis bersama guru.


SEBERAPA KUAT KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN DARING?


Jika ditanya keefektifan, tentu sangat relatif. Sebagaimana pembelajaran luring yang memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan pembelajaran daring. Namun, bagi seseorang yang begitu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak memiliki banyak waktu, tentu belajar daring sangat menguntungkan, karena biasanya materi belajar diformat sebagai rekaman yang bisa diputar kapan saja. Begitu juga bagi seseorang yang memiliki waktu luang tapi kesulitan hadir majelis karena akses mobilisasi yang terbatas, misal seseorang berdomisili di Indonesia, tapi ingin bermajelis dengan masyaikh di Timur Tengah (Timteng) tanpa pergi ke sana. Tentu belajar daring menjadi solusi yang tepat.


LEBIH BAIK MANA?


Ulama berpendapat belajar secara langsung (luring) lebih baik daripada belajar secara tidak langsung (daring) karena bermajelis bersamaan di satu waktu dan tempat yang sama memiliki keutamaan dalam sunnah Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, 👇🏼


مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.

"Tidaklah sebuah kaum berkumpul di dalam rumah diantara rumah-rumah Allah Ta'ala, membaca kitab Allah, dan saling mempelajarinya diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi rahmat, serta dikelilingi malaikat, dan Allah menyebut-nyebut mereka diantara malaikat yang ada di sisi-Nya." (HR. Abu Daud No. 1243)


Ditambah lagi, pembelajaran luring tidak memerlukan kekuatan sinyal internet yang bisa saja sewaktu-waktu melemah atau ada kesalahan teknis. Juga, tidak memerlukan banyak perlengkapan elektronik atau gawai (gadget) sebagai media pembelajaran. Pembelajaran luring juga bisa mempertemukan para pelajarnya, sehingga mereka bisa menjalin pertemanan dan saling berdiskusi.


Meski pembelajaran luring (offline) dinilai lebih baik dari sisi keutamaan sunnah, tapi belum bisa menjadi solusi bagi siapa saja yang tidak memiliki banyak waktu luang atau siapa saja yang tidak memiliki akses mobilitas yang memadai. Daripada tidak sama sekali belajar agama, lebih baik ikut pembelajaran daring (online). Sebagaimana kaidah fikih menyebutkan


مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ جُلُّهُ

"Apa saja yang tidak bisa diraih seluruhnya, maka tidak ditinggalkan keseluruhannya."


Jadi, menimba ilmu dari Mbah Google atau Ustaz YouTube itu bukanlah suatu aib lagi bila ketiga Faktor Dasar yang Memengaruhi Kualitas Keilmuan terpenuhi. Mungkin dahulu ketika awal kemunculan internet, banyak ulama belum perhatian untuk mengefektifkan dakwah dan taklim online karena memang internet zaman dulu tentunya belum secanggih internet saat ini, sehingga ilmu agama di internet hanya sebatas tulisan yang bahkan ditulis oleh orang-orang yang belum berkompeten di bidang agama.


Sekarang bukan lagi saatnya memegang prinsip "Belajar harus langsung bermajelis dengan ulama di tempat dan waktu yang bersamaan". Zaman berubah. Banyak ulama dan du'at yang sudah membuka kanal YouTube dan akun medsos; menulis ilmu di website; membuat potongan video ceramah di reel dan story; merekam kajian lalu mengunggah di akunnya; bahkan membuka ma'had online bagi siapa saja yang yang ingin belajar agama secara mendalam dan terstruktur.


Dahulu di awal kemunculan Islam saja, para sahabat mengumpulkan ilmu dengan dihafal saja, kemudian barulah dibukukan. Lalu, muncul klasifikasi ilmu seperti akidah, fikih, tafsir, hadis, dll yang belum dikenal di masa Nabi ﷺ hidup. Beratus tahun lamanya umat Islam belajar secara lesehan di rumah atau di masjid, lalu berubah di atas kursi dan meja dalam tempat khusus belajar yang bernama sekolah. Begitulah wasilah belajar yang terus berubah-ubah menyesuaikan zaman. Namun, mau di zaman kapanpun, tiga faktor keilmuan yang sudah kita bahas akan selalu menjadi parameter. Itulah yang terpenting saat menuntut ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar